Senin, 22 Desember 2014

Bertitel dan IRT, so what??

Saya memang pernah sekolah  s2 dan sekarang jadi ibu rumah tangga, so what? Menurut saya gak ada masalah, meski untuk banyak orang mungkin terlihat sebagai suatu ketidakberhasilan atau antiklimaks. Tapi ya itulah pilihan hidup saya. Kadang orang hanya menilai dari covernya aja, tampak luarnya. Mereka gak tau  tentang bagaimana saya menguburkan mimpi saya yang menggebu2 menjadi dosen dan mengubahnya cukup menjadi dosennya anak2 saya. Mereka gak tau tentang bagaimana saya membesarkan hati saya dan meyakinkan diri terus menerus, yak ini jalan terbaikmu. Mereka gak tau tentang bagaimana saya tutup kuping dengan omongan2 semacam 'sayang sekolah tinggi, cuma jadi irt. Ilmunya gak kepake', dan blablabla atau yang lebih sadis lagi "jadi perempuan kok cuma bisa 'minta' (jawa:nyadong) suami" :( Mereka gak tau gimana saya merasa gak enak saat orangtua saya ditanya, anaknya kerja dimana, dan dijawab dengan alakadarnya, momong anak di rumah. Aahh... mak jleb dan jleb lagi.

Trus sekarang gimana rasanya menjalani pilihan yang dengan sadar saya buat? Puas, bahagia? Banyak bahagianya tapi gak selalu. Bosen, iya. Melakukan hal yang sama setiap hari, gak berkembang dan gak tertantang. Bete, sering. Ketika anak2 begitu bertingkah, mogok sekolah berbulan2, dan sulit diatur. Capek, tiap hari. Pekerjaan yang gak ada jam kerjanya. Dari pagi hingga pagi lagi. Iri, kadang. Iri melihat temen2 lain yang udah 'berhasil' dan sakses dengan karirnya. Galau, jangan ditanya. Berkali2 saya donlod dan print form pendaftaran cpns, tetapi selalu berakhir menjadi uwelan di tempat sampah *kecuali cpnsan pemprov jogja kemarin yg belom ada pengumumannya hingga sekarang. Itu tadi bagian gak hepinya. Bagian hepinya jauh lebih banyak. Menjadi yang pertama dicari anak2 saat mereka membuka mata. Ngeloni dan bacain mereka cerita hingga mereka tidur. Main mobil2an atau cerita boneka dengan mereka. Bikinin mereka susu atau gorengin telor ceplok. Ngajarin baca alif ba ta dan menjadi orang pertama yang bangga saat mereka selesai iqra jilid 1. Dengerin segala cerita mereka beserta segenap imajinasinya dan tertawa bersama. Dan masih banyak sekali cerita2 sederhana yang tak habis ditulis dalam berlembar2 kertas. Momen2 yang menurut saya tak tergantikan dengan materi apapun, apalagi sekedar ketrima jadi cpns :p

Kalo bayangin momen2 berharga itu, tiba2 semua keinginan saya untuk ini itu begini begitu jadi hilang, bubar, musnah. Saya hanya ingin membersamai mereka selama mungkin. Pengen nganterin mereka menuju kebahagiaan mereka, menuju passion mereka, menuju kesuksesan mereka. Agar mereka tak perlu merasakan perasaan hampa yang saya pernah rasakan.
Jadi kuliah s2 saya sia2kah? Saya pikir enggak. Pendidikan tinggi untuk seorang ibu itu menurut saya adalah untuk membentuk pola pikir si ibu, tidak semata untuk mendapatkan pekerjaan atau mencari prestis. Pola pikir yang cemerlang dan tidak dangkal. Tentang kebijaksanaan hidup, prinsip2 hidup dan keteladanan. Pola pikir yang kelak akan diwariskannya kepada anak2nya sebagai generasi penerusnya. Jadi salah banget pernyataan 'ngapain sekolah tinggi kalo pada akhirnya jadi ibu rumah tangga'. Itu pernyataan yang sempit yang tak seharusnya dimiliki orang2 yang 'ngaku' berpendidikan. Hei...hidup bukan sekedar jadi pns keleus. Oiya satu lagi, saya gak merasa hina atau dipandang rendah karena nafkah yang diberikan suami kepada saya. Saya justru memberikan jalan kepada suami saya untuk mendapatkan pahala yang banyak lewat nafkah yang diberikannya pada istrinya. Saya justru memberikan kesempatan kepada suami saya untuk bertanggungjawab terhadap hidup saya dan anak2 tanpa melukai harga dirinya. Jadi harus malu di sebelah mana nya? Lagi2, pemikiran yang dangkal.

Tulisan ini tidak dalam rangka membela ibu rumah tangga ya. Atau memuja2 ibu rumah tangga itu lebih mulia dari ibu bekerja. Enggaaak.... Saya gak sepicik itu. Menurut saya ibu rumah tangga gak bisa diversuskan dengan ibu bekerja. Ibu ya tetep ibu, titik.  Mau dia bekerja atau di rumah saja, selalu ingin mengusahakan yang terbaik. Toh ibu bekerja yang anaknya sukses buanyak dan sebaliknya ibu rumah tangga yang anaknya gak beres juga ada. Jadi ukurannya bukan pada bekerja atau di rumah saja. Tetapi pada bagaimana si ibu berhasil menjalani perannya masing2 sebagai ibu bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.

Btw kebayang gak kalo yang bantu ibu2 melahirkan itu pak bidan? Atau pas kita sakit, perawatnya bapak2 atau kalo kita nitipin anak ke daycare yang jagain bukan miss2 tapi mas2?. Ada profesi2 tertentu yang lebih luwes dipegang perempuan. Dan yang jelas gak semua ibu itu berada pada kondisi 'ideal' yang membuatnya bisa dengan tenang tetap tinggal di rumah tanpa harus diriwehkan dengan keharusan memikirkan biaya ini itu yang mungkin belum mencukupi, apalagi di jaman yang gak jelas seperti ini.
Demikian pula jadi ibu rumah tangga. Kebayang gak kacaunya dunia kalo semua wanita itu harus bekerja? Anak2 gak keurus, broken home dimana2,  rumah tangga berantakan dll. Peribahasa 'ibu adalah madrasah pertama dan utama' mungkin gak berlaku lagi.

Jadi kembaliin aja ke hukum asalnya, bekerja bagi kaum wanita itu kan hukumnya mubah/boleh ya bukan wajib atau haram. Selama gak mengabaikan yang wajibnya (mengurus dan mendidik keluarga), gak ada masalah to?
Percaya deh, menjadi ibu rumah tangga itu gak selalu seindah yang sering dibayangkan ibu2 bekerja. Pun menjadi ibu bekerja gak selalu semenyenangkan yang sering diirikan ibu rumah tangga. Berjalan sajalah di track masing2. Rawat dan hijaukan rumput sendiri biar gak selalu merasa kalo rumput tetangga itu lebih hijau.

Hidup bukan melulu soal pilihan. Hidup adalah tentang mewarnai gambar yang telah disediakanNya buat kita. Hidup adalah tentang mengisi ruang2 kosong dalam dimensi ruang dan waktu :D warnai dengan seindah2nya dan isi dengan yang terbaik. *pujangga mode on. Toh nanti yang ditanyakan di akhirat bukan 'kenapa kamu gak jadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja?' tetapi 'gimana pertanggungjawabanmu atas pilihanmu menjadi ibu rumahtangga atau ibu bekerja?' Dan itu kita masing2 yang bisa menjawabnya.

Sabtu, 06 Desember 2014

Tempe, Tahu dan GMO

Pilih mana tempe atau tahu? mmm... Enak mana tempe atau tahu? mmm... lagi. Jawabannya relatif sih ya, suka2 gw, tergantung masing-masing orang. Tapi kalo pertanyaannya diubah  jadi bagus mana tempe atau tahu? Jawabannya... ya bagusan tempe lah
Kenapa bisa begitu? Awas kalo begini ceritanya lagi, kebiasaan. Begini alasannya :D

Meskipun sama-sama dibikin dari kedelai, yang bedain tempe dan tahu itu adalah prosesnya. Pada pembuatan tempe ada yang namanya proses fermentasi/peragian oleh jamur tempe, sedangkan pada tahu gak ada. Sebagai gambaran,  meskipun kedelai punya nilai gizi yang tinggi,  dia juga punya beberapa senyawa anti gizi seperti asam fitat, saponin, goitrogen, tripsin inhibitor dll. Senyawa antigizi  ini bisa menghambat proses pencernaan beberapa zat gizi yang terkandung dalam makanan lain yang dikonsumsi bersamaan. Asam fitat misalnya, dia bisa mengikat mineral seperti kalsium, Zn dan zat besi sehingga mengganggu penyerapan mineral2 ini dalam tubuh.  Nah, proses fermentasi ternyata dapat menurunkan kadar senyawa2 anti gizi ini. Kapang/jamur tempe akan menghidrolisis/menguraikan senyawa2 komplek pada kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana yang mudah diserap tubuh (termasuk mengurai zat antigizi pada kedelai itu). Sementara perebusan saja (pada tahu) tidak begitu signifikan menurunkan kadar zat2 antigizi tersebut. 
Jadi jelas kan kenapa tempe lebih baik dibandingkan tahu? Kalo masih belom yakin, saya cantumkan deh nilai gizi tempe dan tahu versi dkbm (ini kitab wajibnya orang pangan). Dalam 100gram bahan, tempe mengandung kalori 149kal, tahu 68kal; protein tempe 18.3gram, tahu 7.8gram; lemak di tempe 4gram, tahu 4.6gram; karbohidrat tempe 12.7gram, tahu 1.6gram; kalsium di tempe 129mg, tahu 124mg; pospor di tempe 154mg, tahu 63mg; zat besi di tempe 10mg, tahu 1mg. (Niat banget :)). Secara overall lebih bergizi tempe daripada tahu kan?

Oke lanjut... Di indonesia, 90% perajin tempe tahu itu pakenya kedelai impor. Dari kebutuhan kedelai yang 2,5jt ton per tahun, 80%nya harus impor *cmiiw. Diimpornya dari mana? Dari Amerika. Di sana itu lagi ngetren yang namanya produk GMO/transgenik (bukan transgender ya). Apa itu? Produk GMO (Genetically Modified Organism) secara sederhananya adalah produk2 dari tanaman atau hewan yang telah direkayasa/dimodifikasi secara genetik. Biasanya dilakukan dengan menggabungkan DNA dari 2 spesies berbeda. Misal: gen tomat yang disisipi gen ikan dari kutub sehingga tomat menjadi tahan dingin dan gak cepet busuk atau bakteri E.Coli yang disisipi gen dari pankreas babi sehingga bisa menghasilkan insulin dalam jumlah besar atau tanaman kapas yang disisipi pestisida biar kebal hama dan masih banyak lagi (tadi itu contoh2 ekstrimnya ya). Yang saya bayangin itu kayak berada di sebuah lab. dengan banyak ilmuwan berdarah dingin dan bermuka datar lagi ngutik2 sepotong dna di bawah mikroskop yang disambungin ke komputer super canggih *lebay. Kalo udah pernah baca novel trilogi divergent, sedikit kebayang gimana teknologi rekayasa genetik itu mempengaruhi 'kemanusiaan' manusia. Nah, teknologi rekayasa genetik ini banyak diaplikasikan ke tanaman pangan seperti jagung, kedelai, kentang dll dengan cara menyisipkan gen tertentu yang tidak dipunyai tanaman (bisa dari sel apa saja) ke dalam gen tanaman sehingga tanaman yang dihasilkan punya sifat2 unggulan yang diinginkan seperti tahan hama, tahan antibiotik, produktivitas tinggi dll. Saya gak tau ya kedelai yang diimpor di kita itu termasuk yang GMO atau tidak. Yang jelas hingga saat ini produk GMO itu masih menjadi kontroversi. Ada yang pro karena teknologi itu diklaim mampu meningkatkan kualitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, namun lebih banyak yang kontra karena berbagai macam alasan seperti produk2 ini diduga menyebabkan alergi, kanker, melanggar keetisan, merusak keseimbangan alam dan masih banyak lagi. Saya gak terlalu menguasai masalah perGMO an ini sih, sekedar ingin menggambarkan bahwa "ada lho teknologi kaya gini". Kalo versi bpom produk2 GMO ini aman ya. Jadi gak perlu terlalu kuatir makan tempe atau tahu.Tapi secara pribadi, saya agak kurang sreg dengan teknologi ini. Berasa terlalu mengintervensi tuhan gituh.

Oke, balik ke kedelai, kenapa perajin tahu tempe lebih milih kedelai impor daripada kedelai lokal? Katanya sih karena kedelai impor lebih 'berkualitas' dibanding kedelai lokal. Berkualitas di sini maksudnya, ukuran bijinya lebih besar2 dan seragam, lebih bersih, lebih cepat lunak saat direbus dll. Kalo dari segi rasa, sebenernya kedelai lokal lebih unggul dari kedelai impor dan yang jelas gak pake GMO2an. Kenapa gak dibikin biar kedelai lokal berjaya di negri sendiri? Seandainya bisa... Soalnya ini terkait dengan pemerintah dan kitanyah. Regulasi yg keren, kemandirian, mental cinta produk dalam negri dll....

Ya sudah pengen cerita itu aja. Sebagai penutup, saya jadi inget kata bu dosen favorit saya dulu  "you are what you eat". Silahkan cek sendiri2 makanan2 seperti apa yang udah masuk ke tubuh kita.
Powered By Blogger