Kamis, 07 Mei 2015

Darurat Keamanan Pangan di Indonesia

Beberapa hari ini bersliweran di timeline fb foto-foto yang memiriskan hati saya sebagai mantan orang pangan seperti foto pabrik pembuatan bakso yang udah mirip tempat pembuangan sampah, foto mie ayam yang masih ada ekor tikus di dalamnya, foto kikil dengan tekstur 3 dot alias kikil babi dan semacamnya. 

 
Mie ayam ekor tikus (gambar diambil dari chirpstory.com)

Kikil babi dengan tekstur 3 titik (gambar diambil dari suaranews.com)

Pabrik basreng di salah satu kota di indonesia (gambar dikolase dari foto-foto di fb endy sulistyawan

Belom lagi berita-berita di tipi tentang mie berformalin, bakso berboraks, biskuit berganja, pemanfaatan makanan kadaluarsa untuk dibikin jajan anak2, es batu berbakteri e.coli, keracunan pangan dkk dkk.
Sedemikian hororkah dunia perpanganan kita? Udah kaya kondisi darurat aja. Darurat keamanan pangan di negeri gemah ripah loh jinawi.

Sebagai ibu rumah tangga yang lagi bosan 24 jam ngobrolin tema-tema seperti "rumput itu dibikin dari apa ma?" atau "magnet itu gimana cara buatnya?", iseng-isenglah saya nulis ini. Lumayan buat olahraga otak biar gak manja. Serem kan kalo ntar otak saya ditawar dengan harga super mahal karena masih mulus gak pernah dipake mikir.
Oke kembali ke leptop. Jadi menurut saya ada beberapa hal yang jadi kendala sulitnya penerapan keamanan pangan di indonesia

1. Kurangnya pengetahuan dari produsen/pelaku industri
Ini ngomongin industri kecil, industri rumah tangga, ukm-ukm kecil bukan pabrik-pabrik gede skala nasional yang untungnya ratusan juta itu. Padahal justru industri-industri kecil inilah yang secara langsung bersentuhan dengan konsumen dalam melayani kebutuhan pangan mereka. Untuk produsen-produsen kecil ini, yang namanya sanitasi dan keamanan pangan, haccp, gmp, qc atau manajemen mutu itu hanya ngawang-ngawang. Punyanya orang-orang kuliahan. Bahasanya terlalu sundul langit tak terjangkau. Dan pada kenyataannya tema-tema ini kadang sulit diterapkan di lapangan karena keterbatasan ilmu, keterbatasan dana, keterbatasan sarana prasarana atau pelaksanaan teknisnya. Mereka gak mudeng urgensinya sanitasi, higienitas atau keamanan selama proses produksi. Yang penting bikin produk, jadi, laku, banyak yang beli, dapat untung. Selesai.

2. Himpitan ekonomi
Semua orang butuh makan dan hidup makin keras bung. BBM naik, listrik naik, sembako naik, bayar sekolah makin mahal, bayar rumah sakit juga mahal, semuanya makin mencekik leher. Oiya, saya ngomongin orang-orang yang hidup di dunia nyata ya. Bukan orang-orang yang ngeliat dunia nyata dari layar gadgetnya. Mbak-mbak tukang sayur, mbah-mbah penjual pisang, mas-mas asongan dkk. Dengan tekanan yang makin berat mereka dituntut untuk lebih kreatif mencari celah meloloskan diri dari himpitan ekonomi untuk bertahan hidup. Boro-boro mikirin keamanan pangan, mereka udah pusing mikirin gimana cara mengatasi kenaikan harga bahan baku agar tak menurunkan daya beli konsumen terhadap produknya.
Namun demikian tak dipungkiri banyak juga oknum-oknum yang emang udah "jahat" dari sononya yang hanya ingin profit besar dengan menghalalkan segala cara. Modal minimalis dapat untung maksimalis. Daging sapi mahal bolehlah ganti daging babi, biar gak ketahuan itu daging babinya direndem dulu pake darah sapi. Daging ayam mahal, ganti aja pake daging tikus. Ada teknik motongnya biar keliatan kaya daging ayam. Lumayan kan gratisan tinggal pasang jebakan di loteng rumah. Mengurangi ongkos produksi. Haram? Nyari yang haram aja susah apalagi yang halal. Daripada nyari pewarna foodgrade lebih mahal boleh lah pakai pewarna tekstil yang lebih cetar dan murah.

3. Regulasi yang tidak ketat
Ngomongin aturan mah sebenernya udah ada itu undang undang tentang keamanan pangan. Bagus, detail, jentrek-jentrek. Tapi entah kenapa sering bubar jalan saat pelaksanaannya. Sama lah kaya undang undang tentang korupsi yang dangkik-dangkik tapi tidak mampu mengurangi jumlah koruptor di indonesia raya. Apa pengawasannya kurang maksimal atau hukuman atas pelanggaran yang tidak diterapkan atau karena prinsip orang-orang indonesia bahwa peraturan itu dibuat untuk dilanggar? Atau karena uang memang bisa membeli segalanya, menyumpal mulut pihak-pihak yang berkepentingan? Tau deh. Saya mah gak ahli yang kaya ginian.
Coba bayangin kalo deptan, depkes, bpom, mui, pemda, ylki saling bergandengan tangan bahu membahu untuk melindungi keselamatan seluruh rakyat indonesia dalam urusan pangan..... aah indahnya dunia. Bisa sering jajan tanpa perlu was2 dengan keamanan makanan yang kita beli :D

4. Ketidakpedulian konsumen
Masih banyak konsumen yang kurang paham pentingnya keamanan pangan dalam menjamin kehidupan yang lebih sehat dan bermutu. Yang penting harga murah aja, terserah bikinnya gimana. Kadang kita (saya ding) lalai cek tanggal kadaluarsa suatu produk. Kadang juga males baca komposisi bahan yang digunakan. Adakalanya juga terlalu berbaiksangka ah masa sih ada produsen yang setega itu nambahin racun ke makanan yang dibuatnya. Tapi realitasnya memang ada. Sering nonton investigasi-investigasi makanan di tipi itu kan? Dengan narasumber yang wajahnya ditutupin kresek dan suara disamarkan memaparkan dengan detail bagaimana cara dia melakukan kejahatannya. Tanpa rasa bersalah apalagi berdosa bahwa apa yang dilakukannya itu bisa membahayakan orang lain.

Dari 4 poin di atas, kita (sebagai pribadi) hanya bisa mengendalikan poin ke 4 dengan cara meningkatkan self awareness terhadap makanan-makanan yang masuk ke mulut kita. You are what you eat. Yang di eat sampah ya keluarnya sampah juga. Sekarang kalo mau jajan minimal nyari yang ada logo halalnya. Yang gak ada logo halalnya ya ditanya dulu "pake daging selain sapi gak mas" ke mamang tukang bakso. Pilih tahu atau ikan yang  dilaletin. Jangan segan untuk ceriwis atau kepo terhadap bahan-bahan makanan yang kira-kira berpotensi untuk diutak-atik. Dan yang jelas kurangi keinginan jajan di luar. Pilih-pilih tempat makan. Mulailah belajar memasak makanan sendiri di rumah (nasihat untuk diti sendiri)
Fiuuuhh rempong ya jadi konsumen? Mau jajan aja mesti mikir. Haha

Nah adapun poin 1,2,3 adalah hal-hal yang seharusnya bisa dikendalikan oleh pemerintah dan pihak yang terkait. Masalah-masalah semacam ini akan lebih efektif diselesaikan dengan strategi top down bukan bottom up (suka banget sama istilah ini haha *inget tidar temen kkn). Maksudnya dalam menyelesaikan masalah-masalah semacam ini adalah dari atas ke bawah. Dari yang punya kuasa ke rakyat jelata.  Sama kaya nyelesaiin korupsi, mustahil kalo penyelesaiannya dari bawah ke atas. Pemerintah yang punya kewenangan membuat aturan dan mengawasi. Ya bikinlah aturan, bikin pengawasan, kasih hukuman buat yang melanggar, bikin edukasi ke ukm-ukm kecil sama industri-industri rumahan tentang pentingnya keamanan pangan bagi masa depan bangsa, bikin juga edukasi buat konsumen agar lebih aware dengan keamanan makanan yang dikonsumsinya dsb. Dan ini yang paling penting. Aturan-aturan yang telah dibuat itu benar2 dilakukan, bukan hanya sekedar formalitas atau pencitraan untuk ngeyem-yem-i masyarakat saja.

Lu kate gampang? Eh, sapa juga yang bilang gampang. Susah keleus menyatukan 3 komponen (produsen, pemerintah, konsumen) untuk bersama-sama menjaga kedamaian dunia pangan di indonesia. Secara ada banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Apalagi di era neolib ini. Beeeuuhh gemes sendiri ngelihat tingkah laku para pemimpin yang makin tak tau malu. Kayanya udah susaaaahh gitu memperbaiki negeri ini. Darurat pornografi, darurat korupsi, darurat pendidikan, darurat keamanan pangan, dan darurat di hampir semua aspek. Sedih tauk. Sebagai ibu rumahtangga, tugas saya jadi berlipat-lipat makin berat dalam menjaga, melindungi dan mempersiapkan anak-anak saya menuju dunia mereka kelak yang entah akan sekeras apa.

Iyaaa saya emang baru bisa nulis-nulis doang dan lagi bisa berusaha mengendalikan poin 4 di atas. Tapi mungkin ini lebih baik daripada sekedar sebodo teuing yang penting keluargaku sejahtera aman sentosa. Dunia makin rusak,  i don't care lah. Itu kan mereka bukan aku. Egois pisan. Apalagi yang dipunyai endonesia saat peduli sesama pun udah ilang dari hati kita? Apa?? Apaaa??? *dramaaa
Hhhhh *hela nafas.

Ah sudahlah, ini cuma sekedar tjurhatan seorang emak yang gak hobi masak namun sekarang ini jadi mikir 2x saat mau jajan keluar gegara berita-berita horor yang membombardir kuping dan mata saya setiap saat. Dan saya akan tetap berusaha bersikap optimis bahwa semuanya akan selalu bisa diperbaiki jika kita punya niat baik untuk mengubahnya.....

Selasa, 05 Mei 2015

Bahayakah Minum Es Teh Manis Setelah Makan?

Masih inget dong tagline salah satu minuman teh dalam botol yang pernah ngehits itu, "apapun makanannya, minumnya teh botol *os*o". Branding yang keren menurut saya, karena nancep banget di pikiran konsumen. Kaya udah identik kalo yang namanya teh dalam botol itu ya s**r*, bukan yang lain.

Es teh manis (gambar diambil dari kaskus.co.id)

Tapi tulisan ini gak akan ngomongin lebih lanjut tentang branding-brandingan dan semacamnya soalnya saya bukan orang iklan dan gak ngerti dunia iklan.
Saya cuma pengen ngomentarin kebiasaan orang-orang yang terkait dengan tagline iklan ini. Apa itu?? Yap, kebiasaan minum teh anget/es teh setelah makan. "Mas, bakso satu sama es teh manis satu ya" atau pahe fried chicken gratis teh botol dingin. Hmmmm.... semangkok bakso panas pedes disandingkan dengan segelas es teh manis ituuu.... surga dunia. Haha lebay. Cucok banget. Pasangan serasi yang tak terpisahkan.

Naaahhh mulai timbul masalah nih di sini. Menurut sedikit buku-buku gizi yang dulu pernah saya baca, di dalam teh itu ada yang namanya zat antigizi yang disebut tanin. Dibilang antigizi karena dia punya kemampuan mengikat mineral-mineral penting membentuk kompleks yang sulit dicerna tubuh. Akibatnya ketersediaan/availabilitas senyawa-senyawa penting itu menjadi berkurang. Jika hal seperti ini terjadi terus-menerus, lama-kelamaan tubuh akan mengalami defisiensi senyawa-senyawa tersebut. Nah, tanin dalam teh itu punya kemampuan mengikat zat besi, Ca, dan mineral2 lain yang dibutuhkan tubuh. Dia juga bisa berinteraksi dengan protein membentuk senyawa yang sulit dicerna.

Jadi bahayakah minum es teh manis pas atau setelah makan?
Bahaya sih enggak, cuma yaaa jadi mubadzir aja sih kesannya. Sia-sia gitu. Mineral-mineral dan protein dari makanan yang seharusnya bisa diserap tubuh menjadi tidak available lagi gegara diikat oleh tanin dalam teh tadi.

Jadi sebaiknya kalo lagi makan di warung, pesennya es jeruk aja jangan es teh. Bukannya bermaksud mendiskreditkan es teh, tetapi secara teori, tanin dalam teh itu mengganggu penyerapan zat besi dan protein dalam tubuh. Adapun vitamin C, nah itu justru membantu penyerapan mineral2 tadi ke dalam tubuh. Gitu ceritanya.

Kalo pengen minum teh, sebaiknya diberi jeda 1 atau 2 jam sebelum dan sesudah makan, biar optimal dapat gizi dari makanan maupun tehnya itu sendiri. Keburu seret buk nunggu 2 jam abis makan. Itu makannya dikunyah 33x gak sampe seret gituh? Haha. Kan ada air putih cin.

Oiya, kalo minum tehnya itu dimaksudkan untuk memperoleh manfaat/khasiat dari teh itu (gak cuma sekedar minum), sebaiknya minum tehnya gak usah dipakein gula. Critanya mau diet pake teh hijau. Tapi minum teh nya dikasih 3sdt gula. Itu mah sama juga boong. Gak berguna. Kenapa gak boleh pake gula? Alasannya boleh baca di sini. sama juga kasusnya dengan pesen bakso tanpa vetsin, tapi naroh kecap, sausnya gak kira-kira. Alamaaakkk, plis be a smart consumen dong ah. Ada hubungan apa emang vetsin sama kecap? Cekidot sini duluk ya

Oiya satu lagi, teh sama susu itu secara gizi sebenernya gak matching lho. Kenapa? Karena protein dan mineral dalam susu itu bisa diikat oleh tanin dalam teh menjadi senyawa yang sulit dicerna tubuh. Jadi kalo minum teh susu yaa dapetnya bener-bener air teh dan air susu doang, gak ada mineral sama protein dari susu itu. Yaahh padahal teh susu itu enyaak banget lho, gimana dong? Haha. Ya sutralah. The choice is all yours. Gakpapa juga sih sekali-sekali nyicipin rasa-rasa unik. Itung-itung rekreasi lidah :D
*Ini yang nulis sebenernya fans berat es teh manis jadi gak iklas gini tulisannya. Haha

Powered By Blogger