Senin, 03 November 2014

Tentang Keteladanan

Saya pikir negeri ini miskin keteladanan. Kekurangan sosok-sosok yang perilakunya bisa digugu dan ditiru. Hal ini dapat dilihat dari hebohnya pemberitaan tentang bu menteri susi beserta segala komentar pro maupun kontra yang menyertainya. Ada yang menganggap yang penting isinya, casing tidak masalah. Yang penting kerjanya, bukan rokok, tato dan bir nya. Yang penting profesional, tidak munafik dan bla bla bla. Hingga sampai pada penarikan kesimpulan yang ga logis, mending tatoan dan ngrokok tapi ga korupsi daripada pake jilbab dan terlihat alim tapi korupsinya segambreng. Emang pilihannya cuma itu ya? Kenapa ga milih yang udah pake jilbab, kerjanya oke, ga ngrokok, ga tatoan, ga nge-bir, ga korupsi pula. Ya itu tadi, karena sosok-sosok yang seperti itu sudah langka di negeri ini. Hampir punah malah. Ini juga akibat maraknya pola pikir 'pilihlah yang terbaik di antara dua keburukan atau pilihlah yang buruknya minimalis'. Saya bukan termasuk yang kontra sama bu susi sih. Malah angkat jempol saat lihat foto beliau gendong simbah-simbah tua dan menaikkannya di pesawatnya. Atau saat beliau mengeluarkan ide-ide segarnya saat rapat dengan para menteri. Saya hanya ingin menitikberatkan tentang pentingnya keteladanan sebagai unsur pembangun kemajuan bangsa.  Untuk orang-orang yang bisa mendudukkan masalah pada tempatnya sih ga akan kesulitan dengan situasi seperti ini. Tapi untuk orang-orang awam, pelajaran moral yang bisa diambil justru bisa sangat keliru. Misal, ngapain repot-repot sekolah tinggi, lulus smp aja bisa jadi menteri dan sukses. Kenapa ga berpikir kalau sekolah tinggi, yang lebih tinggi dari menteri juga bisa didapat. Atau, kalau mau jadi pengusaha berarti ga usah sekolah aja. Kenapa ga berpikir kalau sekolah tinggi dan jadi pengusaha itu lebih keren? Atau standar 'keren' yang dilihat itu juga sudah bergeser? Keren itu sekedar nyentrik, beda dan antimainstream? Entahlah. Banyak orang yang lantas mencari berjuta alasan untuk membenarkan perbuatannya yang sebenarnya tidak tepat. Nanti mungkin akan tiba saatnya ketika ada cerita seorang homo yang pengusaha sukses suka menyantuni orang miskin. Atau seorang perampok yang memberikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin ala robinhood. Atau seorang psk yang sukses menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri dan cerita-cerita yang semacamnya. Masihkah kita bisa mengatakan  "yang penting apa yang sudah diberikan untuk masyarakat, bukan homonya, bukan rampoknya, bukan psk nya". Ini mah pemikiran liberal bin sekuler. Errr... rusak dunia.
Di jaman Nabi tidak sulit menemukan keteladanan-keteladanan yang menggetarkan hati baik yang diberikan Nabi maupun sahabat-sahabat beliau. Namun saat ini sulit menemukan pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Pemimpin yang menyadari bahwa kelak dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya. Sebagai ibu yang mempunyai dua anak balita, saya terusik untuk ikut menyatakan pendapat, karena saya ingin memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang positif dan penuh teladan baik. Mungkin tidak banyak juga yang bisa saya lakukan. Tapi saya akan upayakan sekuat tenaga memberikan keteladanan-keteladanan kecil untuk anak-anak saya. Seperti kejujuran, hak milik, saling berbagi, saling memuji, saling mengalah, reward punishment dan yang semacamnya. Nilai-nilai hidup yang saat ini sulit dicari keberadaannya. Paling tidak, saya bisa memberikan jawaban yang 'lumayan' ketika kelak ditanya tentang keteladanan apa yang telah saya berikan untuk anak-anak saya. Dimulai dari yang kecil dari diri sendiri, dengan harapan semoga yang kecil ini bisa membesar dan sedikit memperbaiki kondisi bangsa ini yang sedang begitu terpuruk.

1 komentar: