Saya memang pernah sekolah s2 dan sekarang jadi ibu rumah tangga, so what? Menurut saya gak ada masalah, meski untuk banyak orang mungkin terlihat sebagai suatu ketidakberhasilan atau antiklimaks. Tapi ya itulah pilihan hidup saya. Kadang orang hanya menilai dari covernya aja, tampak luarnya. Mereka gak tau tentang bagaimana saya menguburkan mimpi saya yang menggebu2 menjadi dosen dan mengubahnya cukup menjadi dosennya anak2 saya. Mereka gak tau tentang bagaimana saya membesarkan hati saya dan meyakinkan diri terus menerus, yak ini jalan terbaikmu. Mereka gak tau tentang bagaimana saya tutup kuping dengan omongan2 semacam 'sayang sekolah tinggi, cuma jadi irt. Ilmunya gak kepake', dan blablabla atau yang lebih sadis lagi "jadi perempuan kok cuma bisa 'minta' (jawa:nyadong) suami" :( Mereka gak tau gimana saya merasa gak enak saat orangtua saya ditanya, anaknya kerja dimana, dan dijawab dengan alakadarnya, momong anak di rumah. Aahh... mak jleb dan jleb lagi.
Trus sekarang gimana rasanya menjalani pilihan yang dengan sadar saya buat? Puas, bahagia? Banyak bahagianya tapi gak selalu. Bosen, iya. Melakukan hal yang sama setiap hari, gak berkembang dan gak tertantang. Bete, sering. Ketika anak2 begitu bertingkah, mogok sekolah berbulan2, dan sulit diatur. Capek, tiap hari. Pekerjaan yang gak ada jam kerjanya. Dari pagi hingga pagi lagi. Iri, kadang. Iri melihat temen2 lain yang udah 'berhasil' dan sakses dengan karirnya. Galau, jangan ditanya. Berkali2 saya donlod dan print form pendaftaran cpns, tetapi selalu berakhir menjadi uwelan di tempat sampah *kecuali cpnsan pemprov jogja kemarin yg belom ada pengumumannya hingga sekarang. Itu tadi bagian gak hepinya. Bagian hepinya jauh lebih banyak. Menjadi yang pertama dicari anak2 saat mereka membuka mata. Ngeloni dan bacain mereka cerita hingga mereka tidur. Main mobil2an atau cerita boneka dengan mereka. Bikinin mereka susu atau gorengin telor ceplok. Ngajarin baca alif ba ta dan menjadi orang pertama yang bangga saat mereka selesai iqra jilid 1. Dengerin segala cerita mereka beserta segenap imajinasinya dan tertawa bersama. Dan masih banyak sekali cerita2 sederhana yang tak habis ditulis dalam berlembar2 kertas. Momen2 yang menurut saya tak tergantikan dengan materi apapun, apalagi sekedar ketrima jadi cpns :p
Kalo bayangin momen2 berharga itu, tiba2 semua keinginan saya untuk ini itu begini begitu jadi hilang, bubar, musnah. Saya hanya ingin membersamai mereka selama mungkin. Pengen nganterin mereka menuju kebahagiaan mereka, menuju passion mereka, menuju kesuksesan mereka. Agar mereka tak perlu merasakan perasaan hampa yang saya pernah rasakan.
Jadi kuliah s2 saya sia2kah? Saya pikir enggak. Pendidikan tinggi untuk seorang ibu itu menurut saya adalah untuk membentuk pola pikir si ibu, tidak semata untuk mendapatkan pekerjaan atau mencari prestis. Pola pikir yang cemerlang dan tidak dangkal. Tentang kebijaksanaan hidup, prinsip2 hidup dan keteladanan. Pola pikir yang kelak akan diwariskannya kepada anak2nya sebagai generasi penerusnya. Jadi salah banget pernyataan 'ngapain sekolah tinggi kalo pada akhirnya jadi ibu rumah tangga'. Itu pernyataan yang sempit yang tak seharusnya dimiliki orang2 yang 'ngaku' berpendidikan. Hei...hidup bukan sekedar jadi pns keleus. Oiya satu lagi, saya gak merasa hina atau dipandang rendah karena nafkah yang diberikan suami kepada saya. Saya justru memberikan jalan kepada suami saya untuk mendapatkan pahala yang banyak lewat nafkah yang diberikannya pada istrinya. Saya justru memberikan kesempatan kepada suami saya untuk bertanggungjawab terhadap hidup saya dan anak2 tanpa melukai harga dirinya. Jadi harus malu di sebelah mana nya? Lagi2, pemikiran yang dangkal.
Tulisan ini tidak dalam rangka membela ibu rumah tangga ya. Atau memuja2 ibu rumah tangga itu lebih mulia dari ibu bekerja. Enggaaak.... Saya gak sepicik itu. Menurut saya ibu rumah tangga gak bisa diversuskan dengan ibu bekerja. Ibu ya tetep ibu, titik. Mau dia bekerja atau di rumah saja, selalu ingin mengusahakan yang terbaik. Toh ibu bekerja yang anaknya sukses buanyak dan sebaliknya ibu rumah tangga yang anaknya gak beres juga ada. Jadi ukurannya bukan pada bekerja atau di rumah saja. Tetapi pada bagaimana si ibu berhasil menjalani perannya masing2 sebagai ibu bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.
Btw kebayang gak kalo yang bantu ibu2 melahirkan itu pak bidan? Atau pas kita sakit, perawatnya bapak2 atau kalo kita nitipin anak ke daycare yang jagain bukan miss2 tapi mas2?. Ada profesi2 tertentu yang lebih luwes dipegang perempuan. Dan yang jelas gak semua ibu itu berada pada kondisi 'ideal' yang membuatnya bisa dengan tenang tetap tinggal di rumah tanpa harus diriwehkan dengan keharusan memikirkan biaya ini itu yang mungkin belum mencukupi, apalagi di jaman yang gak jelas seperti ini.
Demikian pula jadi ibu rumah tangga. Kebayang gak kacaunya dunia kalo semua wanita itu harus bekerja? Anak2 gak keurus, broken home dimana2, rumah tangga berantakan dll. Peribahasa 'ibu adalah madrasah pertama dan utama' mungkin gak berlaku lagi.
Jadi kembaliin aja ke hukum asalnya, bekerja bagi kaum wanita itu kan hukumnya mubah/boleh ya bukan wajib atau haram. Selama gak mengabaikan yang wajibnya (mengurus dan mendidik keluarga), gak ada masalah to?
Percaya deh, menjadi ibu rumah tangga itu gak selalu seindah yang sering dibayangkan ibu2 bekerja. Pun menjadi ibu bekerja gak selalu semenyenangkan yang sering diirikan ibu rumah tangga. Berjalan sajalah di track masing2. Rawat dan hijaukan rumput sendiri biar gak selalu merasa kalo rumput tetangga itu lebih hijau.
Hidup bukan melulu soal pilihan. Hidup adalah tentang mewarnai gambar yang telah disediakanNya buat kita. Hidup adalah tentang mengisi ruang2 kosong dalam dimensi ruang dan waktu :D warnai dengan seindah2nya dan isi dengan yang terbaik. *pujangga mode on. Toh nanti yang ditanyakan di akhirat bukan 'kenapa kamu gak jadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja?' tetapi 'gimana pertanggungjawabanmu atas pilihanmu menjadi ibu rumahtangga atau ibu bekerja?' Dan itu kita masing2 yang bisa menjawabnya.