Orangtua mana sih yang tak bangga ketika melihat anak-anaknya berani tampil di panggung, di muka umum? Disaksikan banyak mata dengan tatapan kagum. Berprestasi, pecaya diri, pintar menyanyi, pandai menari?
Saya menyaksikannya kemarin, saat datang di acara parenting yang diadakan sekolahnya anak-anak. Begitu terasa pancaran rasa bahagia, bangga, dan haru dari wali-wali murid yang putra putrinya tampil di depan tamu undangan. Anak-anak itu begitu lucu dan menyenangkan. Hafalan surat pendek, menari pinguin, menyanyi dsb. Sungguh saya turut merasakan rasa bangga dan haru itu.
Namun ada sudut gelap hati saya yang mendadak merasa kecewa ketika menengok ke anak sendiri. Kok dia gak ikut tampil ya? Bukan termasuk anak-anak lucu menggemaskan di depan panggung itu...
Dan lagi-lagi saya melakukan kesalahan fatal yang jamak dilakukan kebanyakan orangtua dengan melontarkan pertanyaan "Kamu kok gak ikut nari atau nyanyi di depan? Tuh lihat, si ini aja berani. Emang kamu gak diajari nari seperti itu?" Bla...bla...bla...bla...
Aah... saya sangat menyesal saat mengingatnya.
Aah... saya sangat menyesal saat mengingatnya.
Saya hafal betul rasanya dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Terluka, tersinggung, useless, tak berharga, inferior, aku mah apa atuh hanya setitik debu di tengah gersangnya padang sahara, hanya hamba sahaya penuh dosa yang mengemis ampunan Tuhannya. Halah.
Kadang tanpa sadar, kita (saya maksudnya) sering tak sengaja membuat luka di batin anak-anak kita. Luka yang secara fisik tak kentara tapi merapuhkan jiwa. Meninggalkan sosok-sosok dengan luka yang menganga-nganga. Kadang luka hati itu bahkan tak sembuh, terbawa hingga mereka dewasa. Dan biasanya orang-orang dewasa yang membawa luka masa kecilnya akan cenderung melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka kelak. Menjadikan lingkaran setan yang sulit untuk diputus.
Sekarang coba jika situasinya dibalik, saat anak-anak kita membandingkan mamanya dengan mama teman-temannya.
"Mama kok gak pinter masak kaya mama temenku sih? Masakan mama gak seenak masakan mama temenku,"
"Ibu kok sukanya marah-marah terus, gak seperti ibunya si ini, baik banget?"
"Bunda kok gendut sih, bundanya ini lho, gak gendut, cantik banget"
(Dan mama pun murkaaa... Awas mama galak!! Kabuuurrr...!!!)
"Mama kok gak pinter masak kaya mama temenku sih? Masakan mama gak seenak masakan mama temenku,"
"Ibu kok sukanya marah-marah terus, gak seperti ibunya si ini, baik banget?"
"Bunda kok gendut sih, bundanya ini lho, gak gendut, cantik banget"
(Dan mama pun murkaaa... Awas mama galak!! Kabuuurrr...!!!)
Gimana rasanya Mam?
Ya seperti itu jugalah yang dirasakan anak-anak kita. Terluka harga dirinya.
Ya seperti itu jugalah yang dirasakan anak-anak kita. Terluka harga dirinya.
Ada beberapa yang kemudian mengemukakan alasan-alasan, pembelaan diri, pembenaran atau apalah namanya,
"Itu kan demi kebaikan anak-anak, buat masa depan mereka"
"Gakpapa, biar bocahnya jadi ketularan pede kaya teman-temannya,"
"Buat melecut si anak aja, biar dia bisa berprestasi seperti kawan-kawannya,
Dan sebagainya
Sungguhkah itu yang akan terjadi? Mereka jadi lebih bersemangat, terlecut untuk lebih percaya diri, lebih berani, lebih berprestasi? Bisa jadi iya untuk sementara. Keberhasilan sesaat nan semu. Hanya untuk memenuhi tuntutan orangtuanya. Hanya agar ia 'diakui' dan 'dipandang' oleh orangtuanya. Hanya agar ia bisa menyenangkan orangtuanya. Hanya karena ia takut mengecewakan orangtuanya. Tanpa ada rasa bahagia dalam menjalani prosesnya. Dan itu sangat m e n y e d i h k a n...
Sebegitu pentingnyakah untuk menjadikan anak-anak kita 'berprestasi', juara, populer, terbaik, number one, terdepan, hingga kita merasa perlu melecut-lecut mereka dengan membandingkan prestasi yang bisa diraih kawan-kawannya yang tak bisa diraihnya? Hingga kadang kita melupakan hal yang justru paling penting dari itu semua, "Apakah mereka bahagia?" "Apakah itu keinginan mereka?"
Kadang kita, orangtua terlalu menuntut agar anak-anak bisa begini begitu hanya demi memuaskan ambisi kita, tentu saja dengan dalih "Semua ini demi masa depanmu Nak..."
Kalau anak-anak kita 'cuma' jadi anak yang 'biasa-biasa' saja,
so what...?
so what...?
Tak juara satu di kelasnya. Tak ikut lomba siswa teladan, tak pandai menyanyi atau menari, tak ikut kompetisi membuat robot, tak nyaman tampil di panggung, tak turut serta dalam olimpiade matematika atau sains dan tak tak yang lain.
Apakah mereka jadi tak istimewa, karena kita anggap tak bisa membanggakan orang tuanya di mata dunia?
Lihat deh Mam, cinta paling tulus adalah cintanya anak-anak untuk orangtuanya. Mereka menerima orangtuanya tanpa syarat. Tak peduli kita galak, tak pintar memasak, tak pandai menyanyi, suka marah, hape-an mulu, mereka selalu dan selalu membanggakan kita, menghormati kita, menjadikan kita idolanya.
Mungkin mereka hanyalah anak-anak biasa di mata dunia, tapi mereka punya kasih sayang yang sempurna untuk orangtuanya, dan itu c u k u p.
Tak bisakah kita juga memberikan hal yang sama untuk mereka? Penerimaan yang tulus tanpa syarat untuk anak-anak kita?
Tak akan ada terang jika semua adalah terang. Terang ada karena hadirnya gelap. Tak akan ada panas jika semua adalah panas. Panas ada karena hadirnya dingin. Tak akan ada ramai jika semua adalah ramai. Ramai ada karena hadirnya sepi. Tak akan ada penampil jika semua jadi penampil. Penampil ada karena hadirnya penonton. Tak ada luar biasa jika semua adalah luar biasa. Luar biasa ada karena hadirnya biasa. Semua mengambil perannya masing-masing. Sekecil apapun itu, tetaplah penting.
Tak masalah bukan saat anak kita memilih untuk berperan menjadi penonton bukan penampil? Memilih menjadi biasa, bukan luar biasa? Sebiasa apapun mereka, tetaplah mereka anak-anak luar biasa di mata kita.
Tak ada yang salah dengan mereka, yang salah adalah cara kita memandangnya.
Tak ada yang buram dengan mereka, yang buram adalah kacamata yang kita gunakan untuk melihatnya.
Tak ada yang buram dengan mereka, yang buram adalah kacamata yang kita gunakan untuk melihatnya.
Dear mama, izinkanlah anak-anak kita menjadi diri mereka sendiri, bertumbuh dengan keunikan dan kelebihannya masing-masing. Tugas kita hanyalah mengenali, mengarahkan, dan mengembangkan bakat mereka, tanpa harus memaksa mereka menjadi seperti yang kita inginkan.