Rabu, 07 Juni 2017

Mama, Jangan Terlalu Banyak Instruksi


"Mah, aku tak BAB ya," teriak Berry, mbarep saya terburu2. Iseng saya jawab "gak boleh!"
"Nanti keburu keluar di lantai gimana," jawabnya.
(Yaelah... dibahas, don't be so serious to Le)
"Ya kamu ngapain juga mau BAB pakai acara ijin mama. Kalo mama jawab gak boleh, terus kamu gak jadi BAB gitu?

"Mah, mamah... bangun," ujarnya sambil ngogrek-ogrek badan si mama. "Opo Ber," jawab mama dengan mata setengah merem. "Aku tak tidur siang ya," jawabnya tanpa dosa.
Ingin rasanya pergi ke luar angkasa, hipotermia di kutub utara, hilang di samudra antartika... teet! gita gutawa, parasit!
Oalah ngger... ngger... mama pikir ada macan ucul hingga kamu sampai hati mengusik tidur siang nan sakral mamamu ini.

"Mah, aku tak pakai baju ini ya. Merah sama abu-abu matching gak?"

"Mah, aku tak ngerjain PR sekarang ya?"

"Mah, aku tak mandi ya?"

"Mah, aku tak gini ya? Mah, aku tak gitu ya?"

"Mah, aku boleh gini gak? Mah aku boleh gitu gak?"

Bertanya, bertanya dan bertanya terus, atau lebih tepatnya meminta konfirmasi terhadap apa yang akan dilakukannya. Hampir semua hal dia mintakan persetujuan saya.

Awalnya saya pikir gak masalah dengan situasi seperti ini. Malah agak senang karena saya jadi lebih mudah mengawasinya. Tahu dengan detail apa-apa yang dilakukannya karena tanpa  saya minta pun, dia sudah laporan segalanya ke saya.
Tapi lama-lama kok seperti ada yang saya rasa gak pas dari situasi ini. Menilik  dari perkembangan sikap dan tingkah polahnya yang sepertinya kurang oke.

1. Kurang percaya diri
Dia tidak pede saat berbeda dengan teman-temannya. "Mamah tau dari mana kalau hari ini pakai baju koko? Coba lihat watsapnya bu guru."
Dia kurang pede menyampaikan apa yang diinginkannya pada orang lain, yang dilampiaskan dengan uring-uringan, marah, atau menangis saat keinginannya tak tercapai.

2. Ketergantungan
Dia sangat bergantung pada jawaban-jawaban yang saya berikan. Meski kalau jawaban saya tak sesuai keinginannya, dia akan tetep ngeyel mempertahankan. Dia selalu butuh penegasan dari orang lain terhadap segala hal yang akan dilakukannya. Saya jadi mikir, apa jadinya kalau kelak gak ada saya, mau minta penegasan ke mana? Iya kalau orang yang diminta itu benar, baik. Lha kalau sebaliknya?

3. Mudah terpengaruh lingkungan
Dia gampang sekali "ikut-ikutan" teman-temannya. Tak masalah jika yang diikuti adalah hal-hal yang baik. Apa jadinya jika dia kelak harus hidup di lingkungan yang auranya negatif? Kan gak bisa selamanya kita menciptakan kondisi yang steril untuk tumbuh kembangnya. Pada akhirnya dia harus mampu membentengi dirinya sendiri dari pengaruh-pengaruh negatif itu.

4. Butuh eksistensinya diakui
Dia sering membandingkan dirinya dengan orang lain.
"Si ini udah mau SD baru iqra 1, aku udah iqra 3 lho mah."
"Dulu aku berani ya mah ke dokter gigi, gak kaya Bella sekarang."
"Aku baru 6 tahun kok udah pinter ngrakit lego e mah?"
Waaa ini... rupanya dia haus pujian, ingin dibombong-bombong, ingin diakui kemampuan dan eksistensinya.

5. Kurang kreatif
Seperti burung dalam sangkar. Kreatifitasnya dibatasi oleh suruhan-suruhan dan larangan-larangan saya. Jangan begini, bahaya. Gak boleh gitu, bikin berantakan. Gini aja nih, lebih keren dll dsb dkk.

Merunut ke belakang dalam rangka mencari akar masalah... Ya, Berry itu anak sulung saya. Anak yang saya asuh ketika saya begitu miskin pengalaman mengenai parenting dan kawan-kawannya. Saya dulu memang kurang antusias mempersiapkan diri menjadi ibu baru, masih terlalu fokus pada urusan "berdamai dengan diri sendiri".
Jadilah anak pertama saya sebagai ajang eksperimen trial and error. Buat anak kok coba-coba.
Saya terlalu banyak mengarahkan (baca: menyuruh dan melarang) dia dengan alasan demi kebaikan dirinya, menurut saya tentu saja. Bagusnya begini, bagusnya begitu. Jangan begini, jangan begitu.
Terlalu takut dia kenapa-napa. Terlalu berhati-hati agar tak ada pengaruh buruk mampir ke dia.

Setelah melalui kontemplasi selama ratusan tahun -oke saya lebay- si mama pun tersadar bahwa dia telah melakukan kesalahan

Ya aku salah.
S a l a h... lah... laaah... laaaaah...

Oleh karena itu, saya berusaha melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kesalahan saya sebelum semua menjadi terlalu sulit diperbaiki.

1. Lebih banyak berdikusi
Kurangi hobi mengarah-arahkan. Sok lebih tau yang paling baik buat anak.
Saya sekarang berusaha lebih banyak bertanya padanya, mendengarkan keinginannya, menerima pendapatnya.
"Kamu maunya apa?"
"Menurutmu gimana?"
"Kalau seperti ini gimana?"
"Bisa gak kamu cari solusi sendiri?"
"Silakan diselesaikan sendiri."
Dll, dsb, dkk

2. Menghormati setiap keputusannya
Saya berusaha meminimalkan memberikan komentar terhadap hal-hal yang dilakukannya. Misal terhadap pilihan bajunya yang itu-itu mulu, walaupun dalam hati pengen banget bilang "itu lagi itu lagi kaya gak ada baju lain aja."
Saya berusaha tidak terlalu mencampuri urusan yang berhubungan dengan mainan-mainannya, PR nya, waktu mainnya dsb.
Mengingatkan sekali-sekali jika sudah di luar batas.

3. Membuat kesepakatan
Alih-alih menyuruh atau melarang, saya sekarang lebih suka membuat kesepakatan yang disepakati dua belah pihak.
"Oke mama kurangi marah-marahnya, asal......"
"Silakan main, asal sebelum magrib sudah di rumah."
"Main tablet cuma boleh sabtu minggu, 2 jam sehari."
Dll, dsb, dkk.

4. Lebih banyak apresiasi
Hal yang mungkin kurang sering saya lakukan untuk sulung saya. Mungkin saya terlalu sibuk dengan adik-adiknya, hingga mengabaikan kebutuhannya untuk diakui eksistensinya.
Sebelum terlanjur dia mencari pengakuan dari orang lain, perbanyaklah memuji, mengapresiasi sekecil apapun pencapaian anak-anak kita.

Teori itu selalu lebih mudah, prakteknya yang susah. Hanya berharap saya selalu bisa konsisten untuk berusaha menjadi ibu yang lebih baik dari saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger